Kamis sore, 12 Juni 2025, saya akhirnya melintasi jembatan kayu Bukit Sekatup Damai (BSD) untuk pertama kalinya. Padahal saya tinggal di kawasan ini, dan sudah cukup lama tahu bahwa jembatan tersebut dibangun.
Tapi baru sore itu saya punya waktu untuk jogging ke arah sana, bersama istri. Dari rumah ke pintu masuk jembatan jaraknya tak sampai satu kilometer.
Yang pertama menarik perhatian saya justru bukan jembatannya, tapi bangunan pujasera lama di dekat pintu masuk. Bangunan ini sebelumnya cukup besar, digunakan sebagai pusat kuliner dengan sejumlah kios di dalamnya. Namun, seiring waktu, fungsinya mulai berkurang.

Atas usulan, Badan Koordinasi Lingkungan (BKL) BSD, PT Pupuk Kaltim membantu melakukan renovasi agar bangunan ini bisa dimanfaatkan lebih baik. Rencananya dialihfungsikan menjadi gedung serbaguna, supaya penataannya lebih rapi dan penggunaannya lebih luas—untuk kegiatan warga seperti pertemuan, hajatan, atau acara komunitas.
Saya melangkah masuk ke kawasan jembatan. Di gerbangnya, ada papan informasi dan CCTV. Jembatan kayu itu membentang sekitar 360 meter di atas hamparan bakau yang rindang dan tenang.
Di tengahnya berdiri menara pantau BSD. Bukan sekadar pelengkap. Menara itu digunakan untuk pengawasan dan edukasi lingkungan. Di kawasan ini juga telah ditanam 3.000 bibit mangrove, bagian dari program 50 ribu penanaman oleh PT Pupuk Kaltim.
Setelah melewati jembatan, saya tiba di kawasan hunian kecil di tengah mangrove. Ada 10 kepala keluarga (KK) yang tinggal di sini. Dulu akses mereka harus memutar lewat lapangan golf Sintuk. Tapi sejak jembatan BSD selesai dibangun, akses lama ditutup. Satu-satunya jalan keluar-masuk adalah lewat perumahan BSD.
“Dari sisi keamanan, memang lebih baik. Semua keluar-masuk lewat satu pintu saja di kompleks BSD,” kata Supriyadi, Ketua BKL BSD.
Di ujung kawasan itu, saya melihat beberapa bangunan, termasuk kandang ayam dan kolam besar. Menurut Supriyadi, kandang tersebut kini hanya digunakan sebagai tempat penampungan ayam potong sebelum dijual.
Kolam yang cukup luas itu rencananya akan dikembangkan sebagai lokasi pemancingan dan kafe kecil. Struktur bangunannya sudah berdiri, tapi belum selesai.
Pembangunan jembatan ini dimulai pada September 2024 dan selesai Januari 2025. Namun pagar dan lampu baru dikerjakan belakangan karena memang tak termasuk dalam desain awal.
Setelah warga mengusulkan tambahan itu—karena jalur ini mulai ramai digunakan pagi hingga malam—permintaan pun disampaikan ke pihak perusahaan. “Awalnya memang tidak masuk perencanaan, tapi setelah warga menyampaikan usulan, kami teruskan ke PKT. Syukurnya langsung direspons, sekarang tinggal pengecatan pagar saja,” jelas Supriyadi.
Gedung serbaguna yang menggantikan pujasera lama juga akan dikelola oleh BKL BSD. Warga bisa memanfaatkannya untuk beragam kegiatan, dengan pengelolaan yang tetap tertib dan bertanggung jawab.
“Bisa digunakan warga, tapi tetap harus ada koordinasi. Ada biaya listrik, kebersihan, dan hal teknis lainnya yang harus dipertimbangkan bersama,” tambah Supriyadi.
Bagi saya, jembatan, menara, dan gedung ini bukan sekadar bangunan. Ini ruang hidup. Tempat orang berkegiatan, bersosialisasi, dan merasa punya bagian. Infrastruktur seperti ini tak selalu perlu seremoni besar—cukup dibuktikan dari fungsinya di lapangan.
BSD hari ini punya potensi besar. Tapi potensi itu hanya bisa tumbuh kalau dijaga bersama. Jangan tunggu rusak baru diperbaiki. Jangan tunggu ramai baru diperhatikan. Kawasan ini sudah mulai hidup. Tinggal bagaimana kita—warga, pengelola, dan perusahaan—ikut bertanggung jawab menjaga dan merawatnya.
Karena yang tumbuh dari kawasan ini bukan cuma bakau dan kayu, tapi juga kesadaran, keterhubungan, dan rasa memiliki. Sesuatu yang makin hari makin langka di ruang publik kota kita.
Oleh: Agus Susanto, S.Hut., S.H., M.H.