SAMARINDA – Nama-nama bakal calon kepala Badan Otorita Nusantara bermuculan. Padahal, pembahasan mengenai pembentukan payung hukum Badan Otorita Ibu Kota Negara masih bergulir di pemerintah pusat.
Diperkirakan, payung hukum tersebut rampung 40 hari lagi. Sebelum hari itu tiba, nama-nama bakal calon kepala Badan Otorita IKN yang diberi nama Nusantara itu sudah bermunculan. Namun hal ini dinilai tidak etis karena mengesampingkan pembahasan lebih penting.
Soal progres mengenai pembentukan Badan Otorita Nusantara disampaikan pelaksana tugas (Plt) Asisten Pemerintah dan Kesejahteraan Rakyat, Sekretariat Daerah Kaltim, Deni Sutrisno. Ia menyampaikannya saat mengikuti acara bertajuk Syukuran Kaltim atas Disahkannya UU IKN pada Senin (7/2/22). Saat itu, Deni mengatakan pemerintah pusat sedang mengebut pembentukan payung hukum Badan Otorita Nusantara. Beleid yang bakal berformat peraturan presiden (perpres) itu diperlukan sebagai landasan hukum membangun IKN baru.
“Perpres ini akan diteken dua bulan setelah RUU IKN ditetapkan pada 18 Januari 2022,” kata Deni Sutrisno.
Di tengah pembahasan perpres tersebut, nama-nama bakal calon kepala Badan Otorita Nusantara bermunculan. Mengutip dari media nasional, Presiden Joko Widodo menyebut empat nama bakal calon kepala Badan Otorita Nusantara. Keempatnya yakni mantan Menteri Riset dan Teknologi, Bambang Brodjonegoro; Komisaris Utama PT Pertamina (Persero), Basuki Tjahja Purnama; Direktur Utama PT Wijaya Karya (Persero), Tumiyono; dan politikus PDI Perjuangan sekaligus Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Abdullah Azwar Anas.
Bukan hanya di tingkat nasional, nama-nama bakal calon kepala Badan Otorita Nusantara juga datang dari lokal. Informasi yang dikumpulkan media ini, sedikitnya ada enam figur dari Kaltim yang muncul dalam bursa pencarian kepala Badan Otorita IKN baru. Yakni Gubernur Kaltim 2018-2023 Isran Noor, mantan Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi, mantan Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang, mantan Gubernur Kaltara Irianto Lambrie, mantan Sekprov Kaltim Muhammad Saban’i, dan mantan Wakil Bupati Berau Agus Tamtomo.
Deni Sutrisno tak menampik ada banyak nama bakal calon kepala Badan Otorita Nusantara. Namun ia enggan mengomentari calon kepala lembaga setingkat kementerian itu. Pemprov Kaltim dan pemerintah pusat disebut sedang fokus merampungkan Perpres Badan Otorita Nusantara.
“Saya belum berani bicara strukturnya karena Perpres maupun peraturan turunan yang lain sedang digodok,” katanya. Ia menambahkan, pemilihan kepala Badan Otorita Nusantara juga akan dilaksanakan dua bulan mendatang.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim, Prof Muhammad Aswin, menambahkan, Perpres Badan Otorita akan diteken bersamaan selesainya pembentukan tujuh peraturan turunan dari total 44 pasal UU IKN. Peraturan dibagi menjadi dua klaster yakni perpres dan peraturan pemerintah (PP).
“Sekalian juga nanti ditetapkan siapa yang menjadi kepala Badan Otorita,” katanya via telepon.
Nafsu Elit Politik
Kemunculan nama bakal calon kepala Badan Otorita Nusantara mendapat kritik dari pakar hukum hingga pengamat politik. Tiga akademikus yang diwawancarai sepakat menyatakan, pembahasan substansi dan kewenangan Badan Otorita jadi melenceng akibat kemunculan nama-nama tersebut.
Akademikus Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, misalnya, mengaku heran melihat fenomena tersebut. Menurutnya, diskusi kritis mengenai Badan Otorita belum selesai. Mengenai hubungan antara Badan Otorita dengan pemerintah daerah di Kaltim, contohnya. Castro, panggilan Herdiansyah Hamzah, menjelaskan, UU IKN belum menjamin posisi Kaltim terhadap IKN. Padahal, penjelasan kewenangan dan hubungan tersebut dinilai sangat penting bagi Kaltim.
“Ini (UU IKN) seperti cek kosong yang diberikan kepada Presiden untuk mengatur lebih lanjut mengenai struktur, fungsi, dan kewenangan Badan Otorita melalui peraturan presiden. Seharusnya, materi muatan ini ada di UU,” ujarnya.
Selain itu, mengenai wewenang penunjukan kepala Badan Otorita yang notabene adalah hak prerogatif presiden, juga dianggap masih bermasalah. Castro menilai, ada potensi dominasi eksekutif yang besar tanpa check and balance antara eksekutif dan legislatif.
Hal itu tampak di pasal 9 ayat 1 UU IKN yang menjelaskan kewenangan mutlak memilih kepala dan wakil Badan Otorita ada di tangan presiden dengan berkonsultasi dengan DPR.
Tapi, menurut Castro, frasa ‘berkonsultasi’ saja tidak cukup. Pasalnya, frasa itu membuat legislatif tidak memiliki kewenangan untuk memveto keputusan presiden ketika menunjuk pimpinan Badan Otorita.
“Namanya konsultasi, kalau diterima atau tidak, ya, tidak jadi soal. Tapi, itu jadi masalah juga karena kesannya, sentralisasi sekali bagi pihak eksekutif. Kecuali, ada frasa ‘atas persetujuan DPR’,” urainya.
Ia pun mengkritik, fenomena kemunculan nama-nama bakal calon kepala Badan Otorita Nusantara sebelum pembahasannya selesai, menandakan betapa bernafsunya para elit politik mencari jabatan. “Insting kekuasaan elite politik kita memang overdosis,” kritik Castro.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris, Samarinda, Suwardi Sagama, sepakat dengan pendapat Castro itu. Menurutnya, pembahasan calon kepala Badan Otorita Nusantara sejak dini membuat pembahasan ihwal persoalan IKN baru yang lebih penting menjadi tergeser.
“Setelah efek jin buang anak, sekarang bergeser ke siapa yang dapat posisi di badan otorita,” kata Suwardi Sagama.
Suwardi mengatakan, terdapat inkonsistensi dalam konsep Badan Otorita. Konsep satuan pemerintah daerah Badan Otorita tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Sejumlah beleid, kata Suwardi, menjelaskan, di dalam pemerintah pusat terdapat pemerintah provinsi yang di dalamnya terdapat pemerintah kabupaten dan kota. Hal ini sesuai amanat UUD 1945 yang berbunyi: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
“Kecuali daerah yang mendapatkan asimetris atau istimewa seperti Yogyakarta dan DKI Jakarta,” katanya.
Dengan demikian, Suwardi menilai, secara ketatanegaraan posisi hukum Badan Otorita di sistem pemerintahan membingungkan. Kehadiran badan tersebut bertentangan dengan semangat pembentukan pemerintah daerah yang berdasar dari asas dekonsentrasi dan desentralisasi. Partisipasi langsung masyarakat melalui pemilihan umum kepala daerah juga terhambat.
Melihat konsep penunjukan kepala Badan Otorita dari presiden, Suwardi merasa, hal tersebut seperti kembalinya rezim orde baru yang bersifat sentralisasi. Pemerintah, ujar dia, harus memperjelas status pendirian Badan Otorita di Bumi Etam. Ia menyarankan, akan lebih baik jika Badan Otorita dibubarkan setelah pembangunan infrastruktur fisik IKN rampung. Pemilihan langsung kepala daerah IKN dapat dilakukan setelahnya.
“Selesai pembangunan IKN, Badan Otorita dibubarkan dan IKN dijalankan oleh pemerintah daerah yang kepala daerahnya dipilih langsung oleh rakyatnya. Jika masih Badan Otorita yang menjalankan pemerintahan, ini dapat membingungkan sistem pemerintahan di Indonesia,” ujarnya.
Akademikus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Unmul, Budiman, mengatakan, perdebatan mengenai siapa yang layak menjadi kepala Badan Otorita, tidak penting. Asas kedaerahan atau primordialisme, tidak boleh menjadi pertimbangan utama terpilihnya pemimpin Badan Otorita. Kompetensi individu, disebut harus tetap menjadi syarat utama yang dimiliki pemimpin IKN baru.
“Kalau di daerah sendiri saja gagal, baru mau memimpin yang nasional, ‘kan, tidak masuk akal. Jangan ada kesan eks pejabat ini atau pejabat itu, lalu berbondong-bondong jadi kepala Badan Otorita,” sindirnya.
Budiman juga menyarankan, Kaltim sebaiknya fokus membicarakan dampak kehadiran Badan Otorita Nusantara. Selain itu, mengubah landasan hukum penunjukan kepala Badan Otorita menjadi undang-undang. Perpres dinilai tidak menjadi jaminan langgeng atau tidaknya seseorang memimpin IKN karena bisa berubah seiring pergantian presiden. Padahal, menurut Budiman, jaminan kesinambungan pemimpin juga penting.
“Kemudian, jangan sampai IKN pindah tapi daerah-daerah penyangga di sekitarnya tidak diperhatikan. Sebaiknya, kita juga membicarakan itu,” kunci Budiman. (kk)