SAMARINDA – Fakultas Hukum Universitas Mulawarman dan Constitusinal and Administrative Law Society mengadakan diskusi secara daring membahas perpindahan ibu kota negara ke Kaltim pada Senin (31/1/2022). Kegiatan bertajuk Ibu Kota Negara untuk Siapa ini dihadiri sejumlah akademikus dan pakar hukum. Hampir semua peserta memiliki pendapat miring tentang pemindahan IKN.
Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, yang hadir dalam kegiatan tersebut, mengaku heran jika orang-orang yang mengkritik UU IKN disebut tidak membaca dan kurang gigih mencari data. Padahal, seharusnya, pemerintah wajib memberikan informasi, membuka ruang dialog dengan luas, dan menyediakan datanya.
“Ketika dikritik, dilawannya bukan dengan argumen tetapi degan hal-hal yang tidak berkaitan langsung seperti dibawa ke isu sara dan sebagainya,” kata Bivitri.
Akademikus Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jenter itu juga mengatakan, pembuatan UU IKN terburu-buru karena pengesahannya hanya memakan 43 hari. Undang-undang, kata dia, bukan sebuah dokumen seperti skripsi dan makalah. Undang-undang adalah sebuah kontrak sosial yang memiliki kekuatan hukum dan berdampak bagi masyarakat.
Dalam proses legislasi, terang Bivitri, masyarakat harus dilibatkan seluas-luasnya. Mengutip putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja, setidaknya ada tiga hak masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Dan yang ketiga, hak mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Menurut MK, partisipasi publik diperuntukkan khusus bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
“Ketiga hak tersebut tidak diberikan. Naskah akademik juga tidak menjelaskan secara baik, bagaimana ibu kota akan dipindahkan dan bagaimana dampaknya. Kelihatan sekali, naskah akademik ini dipaksakan,” sebut Bivitri.
Panitia khusus pembentukan RUU IKN dari DPR disebut sudah melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama 26 ahli dari tiga perguruan tinggi negeri. Meski demikian, kata Bivitri, hal tersebut tidak serta-merta membenarkan bahwa DPR sudah partisipatif dalam pengesahan RUU IKN. “Lagipula, apakah semua masukan itu didengar dan dibahas? Saya rasa tidak,” jelasnya.
Ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri, juga mengeluhkan UU IKN. Menurutnya, pemerintah tidak memiliki rencana matang untuk membangun IKN. Pasalnya, ia menemukan ada inkonsistensi dalam skema pembiayaan megaproyek tersebut. Awalnya, pemerintah mengklaim tidak akan menggunakan APBN. Kemudian, pemerintah mengumumkan, sebanyak 53,3 persen dari pembiayaan pembangunan IKN akan menggunakan APBN. Sisanya diambil dari Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), swasta, dan BUMN.
Pemerintah pun disebut bakal menggunakan dana program pemulihan ekonomi nasional (PEN) dalam pemindahan IKN. Padahal, kata Faisal yang pernah menjadi anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden RI pada 2000, PEN adalah instrumen utama pemerintah dalam rangka penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi imbas pandemi. Dengan begitu, ia menilai, pemerintah terlalu memaksakan pembangunan ibu kota baru.
“Ingat, dana PEN itu hadir dalam kondisi darurat. Apa pemindahan ibu kota sudah sedemikian daruratnya? Apa tidak bisa ditunda?” ucap pendiri beberapa organisasi nirlaba seperti Yayasan Harkat Bangsa, Global Rescue Network, dan Yayasan Pencerahan Indonesia itu.
Faisal juga mengaku terkejut melihat konsep IKN baru yang mengusung kota hijau dan cerdas. Kaltim, menurutnya, adalah daerah yang mayoritas pendapatannya dari industri ekstraktif. Dari data yang diperolehnya, Kaltim menyumbang sekitar 20 persen dan 65 persen dari total produksi minyak dan batu bara nasional. Dengan demikian, konsep IKN dinilai bertolak belakang dengan fakta di lapangan.
“Ini unik, dia (pemerintah) bikin green city, smart city, tapi di sekelilingnya lain sama sekali. Jadi, ini seperti surga yang dikelilingi neraka. Lama-lama, surganya bisa panas,” sebutnya.
Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang Nasional, Melky Nahar, melengkapi pendapat Faisal itu. Luas konsesi kehutanan, sawit, dan batu bara, kata dia, sudah melebihi luas Kaltim. Informasi yang dihimpun kaltimkece.id (jaringan mediakaltim.com), ada 13,83 juta hektare izin lahan yang tumpang tindih dari luas daratan Kaltim yakni 12,7 juta hektare. Dengan kehadiran 256 ribu hektare kawasan pembangunan, kehadiran IKN akan menciptakan krisis baru bagi masyarakat Kaltim.
Jatam juga mencatat, terdapat 149 lubang tambang di IKN. Sebanyak 92 lubang tambang berada di dalam konsesi perusahan dan 57 di luar konsesi. Jatam menduga akan ada skema ‘tukar guling’ antara perusahaan besar dan pemerintah dalam kawasan ibu kota baru.
“Pemindahan ini cenderung politis. Kami menilai, alasan pemindahan IKN untuk kesejahteraan masyarakat adalah omong kosong. Pemindahan IKN, itu nanti memicu banyak konflik agraria,” ulas Melky Nahar.
Akademikus Hukum Sumber Daya Alam Universitas Mulawarman, Haris Retno Susmiyati, meyakini, pemindahan IKN tidak menyelesaikan persoalan lingkungan yang terjadi di Kaltim. Sejak dulu, provinsi ini selalu menjadi daerah yang sumber daya alamnya selalu diekspolitasi. Terkadang, hal ini menyisakan banyak masalah seperti kematian 40 anak di lubang tambang.
Retno pun menilai, kedatangan IKN justru berpotensi memuluskan eksploitasi berkelanjutan di Kaltim. Alih fungsi lahan hutan tanaman industri (HTI) menjadi lahan pembangunan bakal memicu perubahan peruntukkan menjadi lahan pangan. Kawasan hijau akan berubah menjadi kawasan permukiman. Akses masyarakat juga akan terputus terhadap berbagai kebijakan.
“Jika Presiden bermimpi IKN adalah kota terbaik di dunia, menurut saya, justru bisa menghilangkan potensi Kaltim sebagai paru-paru dunia. Masyarakat global tidak lagi butuh kota yang cantik. Yang dibutuhkan adalah fungsi ekologi yang tidak bisa digantikan dengan teknologi,” terang Retno.
Sementara itu, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik, Busyro Muqoddas, mengatakan, tanpa melalui studi yang layak dan komprehensif, pemindahan IKN bisa dianggap sebagai pelecehan kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Pengesahan UU IKN yang dilakukan DPR, disebut sebagai wujud tandusnya adab dan etika yang menggaungkan demokrasi.
“Rakyat justru diposisikan sebagai sapi perah oligarki,” kritik mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini.
Akademikus Fakultas Hukum Unmul, Warkhatun Najidah, memberikan penjelasan tentang diskusi Ibu Kota Negara untuk Siapa. Diskusi dipastikan tidak dibuat untuk menghadirkan pihak yang pro dan kontra terhadap IKN. Melainkan berfungsi sebagai jalan mencerdaskan publik dan masyarakat. Menurutnya, kampus harus bersifat independen dan menjunjung sikap kritis dengan berbagai rumpun keilmuannya.
“Bermimpi gedung tinggi di sini, menggantikan monas yang jauh di sana. Berhenti diskusi mimpi, di mana jujur? Rakyat meminta,” ucap Warkhatun Najidah menutup acara. (kk)