spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kisah Tenaga Honorer; Sambil Jualan Sayur Keliling, Berharap Lulus Seleksi

Kebanyakan tenaga honorer menerima gaji yang tak akan bisa menutupi kebutuhan hidup keluarga. Karena itu, banyak juga yang bekerja sampingan, seperti berjualan sayur keliling. Berikut kisah tenaga honorer di tiga daerah di Kaltim.

Menjadi guru honorer selama 5 tahun dengan gaji kecil, tak menyurutkan semangat Nurleli Minarsih untuk mengajar di SD Negeri 001 di Kecamatan Sandaran, Kutai Timur (Kutim). Bahkan demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, pagi sebelum ke sekolah wanita berusia 27 tahun ini berkeliling desa berjualan sayur.

Nurleli merupakan guru mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan (PJOK). Istri dari Sahabullah ini sudah menjadi guru selama 5 tahun dengan gaji Rp 1 juta per bulan. Gaji itu diterima tiap tiga bulan sekali. “Suami hanya kerja di kebun kelapa sawit milik orang. Upahnya juga tak seberapa,” ujarnya

Karena gaji guru belum cukup memenuhi kebutuhan hidup, Nurleli juga berjualan sayur keliling kampung demi anak-anaknya. Warga Desa Susuk Tengah, Kecamatan Sandaran ini, mempunyai dua anak. Yang bungsu berusia 7 bulan dan yang pertama usia 6 tahun. Anak pertama baru masuk SD.

Nurleli berfoto di depan perumahan sekolah yang ditempatinya. (istimewa)

Dari berjualan sayur keliling, Nurleli kadang membawa pulang Rp 100 ribu. Kadang penghasilannya di bawah itu. Namun dirinya dan sang suami tidak patah semangat. Kadang suaminya juga berkebun untuk mencari tambahan penghasilan.

“Di sini (Sandaran, Red.) harga sembako mahal, minyak goreng dan gula saja harganya sampai Rp 35 ribu,” ujarnya. “Kalau berharap satu pekerjaannya saja tidak bisa,” tambahnya.

Nurleli menuturkan ketika tak ada uang, kadang dia meminjam kepada kepala sekolah tempatnya mengabdi. “Gaji yang saya tunggu kadang cairnya per tiga bulan sesuai dengan pencairan dana Bosda (bantuan operasional sekolah daerah, Red.). Jadi gaji yang diterima dipakai bayar utang,” ujarnya.

Meski begitu, wanita kelahiran 5 Januari 1995 itu tetap bersyukur karena dia bersama tenaga honorer lainnya tidak menyewa rumah. Dia menempati perumahan milik sekolah.  “Alhamdulillah ada perumahan sekolah yang kami tempati, tinggal bayar listrik dan airnya,” katanya.

Ia pun berharap kepada pemerintah agar memerhatikan kesejahteraan tenaga honorer dengan memberikan peluang menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). “Saat ini ikut seleksi PPPK, dan sudah masuk tahap ketiga, kami berharap tenaga honorer diutamakan,” ujarnya.

BANTU EKONOMI KELUARGA

Nur Emilianti sudah lebih 10 tahun bekerja sebagai tenaga honorer di kantor Kecamatan Samarinda Ulu. Ibu satu anak ini mendapat peluang menjadi tenaga honorer setelah mendapat informasi dari kerabatnya. Ia memilih menjadi tenaga honorer agar dapat mandiri secara finansial dan membantu keluarga.

Nur mengatakan lingkungan kerjanya saat ini sangat baik dan menunjang kerjanya. Selama bekerja di bagian keuangan banyak pelajaran dan pengalaman yang dia dapatkan.

Nur Emilianti, PTTB Kantor Kecamatan Samarinda Ulu.

Perempuan yang akrab disapa Emi ini mengaku tiap tahun selalu ada penyesuaian gaji meski kenaikannya tidak terlalu signifikan. Teranyar Pemkot Samarinda juga sudah memberikan fasilitas berupa layanan asuransi kesehatan.

“Gaji cukup, yang penting berpenghasilan sendiri, bisa memutuskan segalanya sendiri tanpa meminta bantuan. Bisa bantu keluarga juga,” jelasnya kepada Media Kaltim, Sabtu (29/1/2022).

Dia mengaku belum mengetahui detail rencana penghapusan tenaga honorer.  Namun ia berharap mendapat peluang lebih besar untuk lulus menjadi PPPK. Terlebih dia sudah menjalani masa kerja 10 tahun sebagai Pegawai Tidak Tetap Bulanan (PTTB).

“Tidak apa dihapus asalkan kami diangkat dan memiliki kepastian status dan penghasilan,” jelas wanita yang berpendidikan terakhir sarjana ekonomi ini.

Ia mengatakan, sudah mendapat informasi terkait evaluasi yang akan dilakukan Pemkot Samarinda menjelang keputusan pengahapusan tenaga honorer. Ia membenarkan akan ada penilaian dari pimpinan OPD yang akan dilakukan setiap bulan.

“Kabarnya ada tes tiap 6 bulan. Nanti dievaluasi dan dinilai sama pimpinan kami. Bagus sih sekalian persiapan untuk tes CPNS atau PPPK nanti. Jadi kita siap juga mental dan akademisnya,” terang wanita kelahiran 1988 ini.

Sementara, Rita, tenaga honorer yang bertugas di sekolah dasar di Tenggarong Kutai Kartanegara (Kukar) memilih pasrah pada keputusan penghapusan tenaga honorer oleh pemerintah pusat.  Wanita berjilbab ini sudah hampir 14 tahun mengabdi sebagai Tenaga  Harian Lepas (THL) di Kukar.

Awalnya dia bekerja sebagai staf di UPT Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) pada 2008 hingga akhir 2013. Setelah itu, dia dipindah menjadi staf tata usaha (TU) di sekolah yang kini dirinya bekerja.

Ibu satu anak ini mengatakan, saat itu peluang sebagai THL sangat terbuka lebar. Perempuan berpendidikan sarjana ini melihat hal itu bisa menjadi batu loncatan untuk menjadi barisan Korpri. Pengangkatan langsung honorer menjadi PNS terakhir pada tahun 2005-2006.

Dia mengaku selalu ingin menjalankan pekerjaan sebaiknya. Ia berangkat pukul 07.00 Wita dan pulang pukul 14.00 Wita. Begitupun saat lagi marak-maraknya pandemi Covid-19, dan anak-anak belajar secara online, dia tetap berangkat ke sekolah seperti biasa.

Dia mensyukuri gaji yang tak besar dan sesuai dengan Perbup Nomor 22 tahun 2020.  Menurutnya gaji tersebut sudah bisa menopang penghasilan suaminya yang seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Kukar. “Alhamdulillah cukup membantu suami,” timpalnya.

Dia berharap ada kebijakan pemerintah pusat yang terbaik untuknya dan sesama tenaga honorer. Dia akan ikut proses rekrutmen PPPK bila memang ada formasi yang cocok.  “Ikut saja, kalau disuruh berhenti ya berhenti, gak dapat juga memaksa,” tutupnya. (ref/eky/afi)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti