Ribuan orang mengantar Aji Aida yang bergelar Aji Ratu Prabu Ningrat ke peristirahatan terakhir. Ibu dari Sultan ke-21 Kutai Kertanegara Ing Martapura tersebut wafat dalam usia 94 tahun.
Minggu, 19 Desember 2021, jenazahnya dibawa menuju peristirahatan terakhir menggunakan tandu berukuran besar. Sebuah keranda yang disebut damar semurup.
Tandu usung ini adalah tradisi kesultanan yang terpelihara selama lebih dari tujuh abad.
Keranda disebut telah digunakan sejak raja pertama Kutai Kertanegara yang berkuasa sekitar abad ke-13. Bentuknya segiempat. Ukurannya 4 meter x 4 meter. Terbuat dari kayu ulin berbalut kain putih, damar semurup hanya boleh dipakai untuk mengantar jenazah sultan, ratu, dan ibu suri.
“Dalam bahasa Kutai, ‘damar’ bermakna lampu, sedangkan ‘kurup’ berarti pijaran cahaya yang sangat kecil atau hampir padam,” demikian Awang Rifani, kerabat Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martapura, kepada kaltimkece.id jaringan mediakaltim.com.
Damar semurup kemudian diartikan sebagai lampu yang redup. Rifani menjelaskan, itu adalah simbol duka kerabat atas kepergian raja, ratu, maupun ibu suri. Ada dua jenis damar semurup. Keranda yang pertama, seperti yang digunakan mendiang Aji Aida, memiliki lima tingkat.
Jumlah tingkat tersebut menandakan keranda membawa jenazah ratu atau ibu suri. Adapun keranda dengan tujuh tingkat, digunakan untuk membawa jenazah sultan.
“Keranda tujuh tingkat pernah digunakan saat Sultan Kutai Kertanegara Ing Martapura, Aji Muhammad Salehuddin II, wafat pada 2018,” jelas Awang Rifani.
Sementara itu, pada 1981, damar semurup tujuh tingkat digunakan dalam pemakaman Sultan Aji Muhammad Parikesit, ayahanda Sultan Salehuddin II. Dalam pemakaman pada Senin, 20 Desember 2021, keranda lima tingkat baru digunakan setelah jenazah dilepas dari Kedaton Kutai Kartanegara.
Dari rumah duka di Jalan S Parman, Tenggarong, damar semurup mengantar jenazah untuk disalatkan di masjid kemudian ke pemakaman. Beberapa kerabat diperbolehkan ikut di dalam keranda tersebut. Ketika sudah mendekati pemakaman, kain putih selebar 60 sentimeter akan dibentangkan sebagai jalur damar semurup.
Keranda besar untuk arak-arakan pemakaman raja adalah kebiasaan yang jamak di Nusantara. Proses ini disebut peninggalan dari pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha. Raja Majapahit, misalnya, diantar dengan arak-arakan serupa menuju candi.
Selepas kedatangan Islam, raja-raja tidak lagi dimakamkan di candi. Akan tetapi, arak-arakan tersebut masih dilestarikan (Sejarah Sekolah Menengah Atas, 2006, hlm 64).
Contoh lain adalah pemakaman Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Jogjakarta yang mangkat pada 1988 di Washington DC, Amerika Serikat.
Jenazah Sri Sultan dibawa menggunakan Kereta Rata Pralaya dari keraton menuju pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Pedati yang dibeli pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII pada 1938 itu ditarik delapan ekor kuda (Takhta untuk Rakyat, Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX, 2011, hlm 338).
Aji Aida Binti Aji Sennudin yang baru saja dimakamkan di Tenggarong adalah istri Sultan Salehuddin II (sultan ke-20 Kutai). Ia adalah keturunan Kesultanan Sambaliung, sebuah kerajaan yang berkedudukan di Berau. Menurut silsilahnya, Aji Aida merupakan cucu terakhir Sultan Berau.
Ia dinikahi Sultan Aji Muhammad Salehuddin II pada 17 Agustus 1947. Keduanya lantas dikaruniai tujuh putra dan putri. Anak kedua mereka, Aji Muhammad Arifin, kini menjadi sultan ke-21 Kutai Kertanegara.
“Kami amat kehilangan sosok beliau. Mendiang adalah orang yang dituakan dan selalu memberikan nasihat,” jelas kerabat dekat Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martapura, Aji Dedi.
Menurut Aji Dedi, almarhumah senantiasa mengingatkan seluruh keluarga besar untuk menjaga dan melestarikan adat. Aji Aida juga kerap berpesan untuk menjaga keharmonisan. Aji Aida amat menginginkan keharmonisan di antara kesultanan, masyarakat, dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. (kk)