spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Hukuman Tak Sebanding Trauma

Tim Peliput: Andy Desky, Ramlah Effendy, Annisa Hashifah Rahmah

Kasus kekerasan seksual di Kaltim cukup tinggi. Sampai 19 Desember 2021, sudah ada 201 laporan kasus kekerasan seksual di Kaltim. Korban paling banyak adalah anak-anak usia dibawah 17 tahun. Banyak yang menilai hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual selama ini belum sebanding dengan trauma yang dialami korban.  

Perempuan berusia 27 tahun itu tak pernah bisa melupakan pelecehan seksual yang dialaminya kala masih dibangku kelas 2 SMP. Dampak buruk psikis peristiwa itu terus menempel di ingatannya, meski sudah terjadi belasan tahun silam. Sekalipun warga Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda itu sudah memiliki keluarga.

“Sampai saya berkeluarga masih teringat terus. Sekarang saya punya dua anak perempuan, setiap saya lihat muka keduanya, ada aja ketakutan kalau anak saya juga digitukan. Makanya saya sekarang lebih berhati-hati menitipkan anak kalau saya kerja atau bepergian,” ungkap perempuan berinisial RM itu kepada Media Kaltim.

Pelecehan seksual yang dialami RM terjadi 2008. Saat itu ia diantar mau kerabatnya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Namun dia tak langsung diantar ke sekolah, pelaku yang sudah dia kenal itu malah membawanya ke rumah pelaku. Pelaku mengajaknya makan siang. RM percaya saja karena pelaku masih kerabat.

Tiba di rumah pelaku, ternyata tak ada orang lain. Hanya mereka berdua. Pelaku yang berjarak umur 10 tahun dari RM itu kemudian mengajak menonton di ruang tengah. Saat itulah pelaku menarik tangan korban dan mengarahkan ke kemaluan pelaku. RM yang kala itu masih berusia 14 tahun tentu kaget, juga takut.

“Saya kaget. Bengong saat itu. Kayak terhipnotis aja,” terangnya dengan mata berkaca-kaca. Untungnya tambah RM, ada orang yang datang, sehingga perbuatan pelaku tidak sampai berlanjut terlalu jauh atau tak sampai menodai RM. Namun korban sangat syok atas peristiwa itu.

Selanjutnya, pelaku memberi uang jajan agar RM tak menceritakan peristiwa itu. Karena masih polos dan takut, RM tak menceritakan hal ini ke siapapun. “Setelah kejadian itu saya cuma mau diantar jemput sama bapak saya,” ujarnya. Dia tak mau lagi bertemu dengan pelaku.

Ia mengaku butuh waktu lama hingga ia berani menceritakan peristiwa ini kepada orang terdekatnya. “Butuh waktu lama saya cerita ini. Yang pertama saya cerita malah ke suami saya, bukan orang tua saya. Takut saya jadi masalah yang lebih besar,” jelas pegawai sebuah instansi pemerintah ini.

RM berharap undang-undang di Indonesia bisa menerapkan hukuman yang berat bagi pelaku kekerasan seksual. Terutama terhadap korban anak-anak. Karena trauma yang dialami anak-anak akan terus tersimpan dalam dirinya, sepanjang hidupnya.

*

Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus meningkat di Kaltim. Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) per 19 Desember 2021 mencatat 201 kasus. Sementara Minggu lalu (12 Desember 2021) tercatat 198 kasus. Dalam 7 hari bertambah 3 kekerasan seksual. Penambahan kasus terjadi di Samarinda, Balikpapan, dan Bontang. Yang menjadi korban kebanyakan anak usia dibawah 17 tahun.

Dr Syamsudin, SH, MHum

Praktisi hukum, Dr Syamsudin, SH, MHum mengakui, kekerasan seksual di Indonesia, khususnya Kaltim, sudah cukup parah. Bahkan bisa dikatakan Kaltim sudah darurat kekerasan seksual. Hal ini katanya, menunjukkan hukuman pelaku kejahatan seksual tak memberi efek jera dan belum memberikan dampak kepada masyarakat agar tak melakukan perbuatan serupa.

Syamsudin mengatakan, banyak masyarakat menilai ganjaran hukuman maksimal 15 tahun dan tambahan 5 tahun penjara kepada pelaku kekerasan seksual, belum setimpal. Dia pun berpandangan demikian. Menurutnya, perlu hukuman yang lebih tegas kepada pelaku, salah satunya hukuman kebiri seperti yang berkembang di tengah publik.

“Bahkan menurut saya hukuman itu harusnya juga ditambah denda yang cukup tinggi agar pelaku jera,” terangnya kepada Media Kaltim, Sabtu (19/12/2021) . Sekalipun ditambah, hukuman itu pun menurutnya, belum sebanding dengan trauma yang dialami korban.

Dia mengatakan, korban kejahatan seksual, khususnya anak-anak, butuh waktu yang panjang dan tidak mudah menghilangkan dampak buruk psikis dan fisik. Hukuman yang berat jelasnya, diharapkan dapat memberi efek jera kepada pelaku. Selain itu, bisa memberi dampak kepada masyarakat agar tak ikut melakukan perbuatan tersebut.

Dia juga mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang sudah tertahan selama 10 tahun diharapkan bisa menekan angka kasus kekerasan seksual di Indonesia.  Karena itu katanya, RUU TPKS harus segera disahkan DPR RI dan bisa segera diterapkan.

“Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk mengesahkan Undang-Undang  tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Apakah kita akan membiarkan lebih banyak lagi pelaku-pelaku kejahatan seksual. DPR RI harus segera mengesahkan undang-undang itu (RUU TPKS, Red.),” ungkapnya.

Ketua Peradi Samarinda ini menjelaskan, ada tuntutan perkembangan zaman sehingga hukum juga harus mengikuti perkembangan perilaku manusia. Dalam kondisi saat ini katanya, memang dibutuhkan undang-undang yang khusus dan detail mengatur tentang kejahatan seksual atau disebut lex specialis.

Dosen S2 Fakultas Hukum Universitas Mulawarman itu mencontohkan, Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur perilaku masyarakat di dunia maya. Sebelumnya, perbuatan pencemaran nama baik dan fitnah hanya ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

“Karena perbuatan masyarakat mengikuti perkembangan zaman maka perilaku masyarakat di media sosial diatur dan dibatasi oleh undang-undang tersebut (UU ITE, Red.),” jelasnya. Karena itu tambahnya, RUU TPKS perlu segera disahkan untuk bisa menjerat pelaku sekaligus memberikan hukuman yang setimpal.

Dia juga mengatakan, penyusunan RUU TPKS bukan berarti KUHP dan undang-undang lainnya tidak mampu menjerat pelaku. “Hukum harus mengikuti perkembangan zaman, karena itu sangat diperlukan pengaturan tentang perilaku orang yang melakukan kejahatan seksual dalam sebuah undang-undang khusus yaitu RUU TPKS,” jelasnya.

Dalam RUU TPKS jelasnya, definisi kekerasan seksual jauh lebih luas dan mampu menjangkau para pelaku yang selama ini dapat lolos dari jeratan hukum. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur keselamatan keluarga korban ataupun saksi kunci. “Undang-undang ini bukan hanya melindungi korban, tetapi juga melindungi keluarga korban dan saksi,” jelasnya.

Lilik Rukitasari

Sementara dosen Fakultas Hukum Universitas Trunajaya (Unijaya) Bontang, Lilik Rukitasari, menjelaskan pengesahan RUU TPKS menjadi bukti adanya aturan hukum untuk memberikan perlindungan kepada para korban kejahatan seksual dan memberikan hukuman yang konkret kepada para pelaku. Jika telah diberlakukan katanya, diharapkan dapat menekan angka kejahatan seksual.

“Undang-undang itu dibentuk ada tujuan politik dan filosofi yang mau dicapai. Tujuan filosofinya supaya norma kesopanan dan norma kesusilaan kita terpelihara dengan baik. Orientasi dibentuknya undang-undang agar mampu mengatur dan mencegah terjadinya dampak kekerasan seksual yang semakin besar,” jelas praktisi hukum di Bontang ini.

Dalam RUU TPKS katanya, juga perlu diatur tentang orang-orang yang harus melakukan perlindungan terhadap korban, karena tak jarang saat ini para pelaku justru didominasi oleh orang-orang terdekat korban. Hukuman maksimal 20 tahun penjara pun menurutnya, belum cukup diberikan kepada pelaku kejahatan seksual.

“Sebenarnya kita harus melihat suatu kejahatan itu dari dampaknya untuk memberikan hukuman. Dampaknya kepada korban ini kan menimbulkan trauma bertahun-tahun, bahkan bisa seumur hidup. Yang paling menyedihkan jika menimbulkan lingkaran setan, yaitu seseorang menjadi pelaku karena pernah menjadi korban. Itu akibat ada trauma yang tidak bisa disembuhkan,” ungkapnya.

Lilik menyatakan setuju harus dihukum berat karena konteksnya dampak yang luas sampai menyebabkan trauma. “Bukan soal berapa  lama hukuman yang diberikan, tapi apakah bisa hukuman ini memberi efek jera dan keadilan bagi pelaku dan juga korban,” jelasnya.

Dia juga mengatakan, kasus kejahatan seksual seringkali diselesaikan secara kekeluargaan atau secara damai. Artinya keluarga korban memaafkan pelaku. Namun hal itu justru tak memberikan keadilan bagi korban dan masyarakat. “Karena itu sanksi harus tetap diberikan agar ada keadilan. Walaupun keluarga korban memaafkan, tapi masyarakat terganggu dengan ketidakadilan itu, makanya harus dijatuhkan sanksi,” ujarnya. (eky/ahr/mrs)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
16.4k Pengikut
Mengikuti