BENGALON – Salat magrib berjamaah baru saja usai ketika imam masjid bernama Abu Bakar dikagetkan dengan kehadiran sesosok tanpa busana. Laki-laki yang diketahui penduduk setempat berinisial AH (30) itu menjinjing parang di tangan. Melihat gelagat yang tidak baik, Abu Bakar bergegas menenangkan lelaki tersebut.
Menjelang azan isya, Minggu (13/6/2021), di masjid Desa Sepaso Barat, Kecamatan Bengalon, Kutai Timur, amuk AH tak terbendung. Ia sempat menimpas Abu Bakar dan mengenai bagian telinga. AH, yang masih tanpa busana, akhirnya dilumpuhkan sejumlah jemaah masjid.
Warga yang mengetahui kejadian itu segera mendatangi rumah AH untuk memberitahu istrinya. Bukannya bertemu tuan rumah, pemandangan yang warga saksikan lebih memilukan. Sang istri, juga 30 tahun, yang masih mengenakan daster biru-putih, tergeletak di lantai dengan bersimbah darah. Anak bungsu mereka yang baru berusia setahun tak bernyawa di dalam ayunan sarung hijau. Keduanya sama-sama terkena sabetan parang.
“Kejadian terungkap setelah pelaku mengamuk di masjid,” demikian Kepala Kepolisian Sektor Bengalon, Ajun Komisaris Polisi Slamet Riyadi.
AH kemudian diamankan Ahad malam itu juga. Laki-laki itu menderita luka di bagian leher dan sempat dirawat di puskesmas setempat. Kepolisian belum bisa menyimpulkan luka tersebut karena perlawanan dari istri atau perbuatannya sendiri.
Kepala Kepolisian Resor Kutim, Ajun Komisaris Besar Polisi Willy Djatmiko, mengatakan, AH sudah diamankan di Markas Polres Kutim. Motif pelaku belum diketahui. AH disebut terus memberontak dan berupaya bunuh diri. Selain di bagian leher, sayatan ditemukan di alat kelaminnya. “Diduga mengidap gangguan psikologis sehingga tidak bisa dimintai keterangannya,” terang Kapolres.
Menurut media sosial milik istrinya, pasangan ini menikah pada 2010. Adapun anak sulung AH, diketahui tinggal bersama neneknya di Tepian Langsat, masih di Kecamatan Bengalon.
[irp posts=”16238″ name=”Keji, Suami Bunuh Istri dan Anak Pakai Parang di Bengalon, Diduga Penganut Ilmu Hitam”]
Dari sejumlah petunjuk, akademikus psikologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Lisda Sofia, memiliki penilaian. Menurutnya, AH diduga kuat mengidap suatu keadaan psikologis yang disebut borderline personality disorder atau gangguan kepribadian ambang. Orang dengan gangguan ini memiliki ciri-ciri impulsif dan emosi tidak stabil.
“Suasana hati orang dengan gangguan kepribadian ambang kerap berubah-ubah dan sulit dikendalikan. Membuatnya berisiko bunuh diri bahkan membahayakan lingkungan sekitar,” terang Lisda.
Gangguan ini muncul utamanya disebabkan trauma masa kecil. Jenis trauma yang memicu kepribadian ambang batas di antaranya kekerasan fisik, kekerasan emosional, penolakan fisik, penolakan emosional, kekerasan di rumah, hingga kekerasan seksual. Kejadian tersebut berkontribusi kepada defisit neurokognitif atau menurunnya perkembangan fungsi otak anak. Di samping trauma masa kecil, gangguan kepribadian ambang diduga berhubungan dengan faktor genetik, termasuk perubahan zat kimia di otak.
Ciri paling kuat dari kepribadian ambang akut adalah perilaku impulsif yang berlebihan. Impulsif adalah kegagalan seseorang mengendalikan godaan untuk mengambil tindakan yang merugikan dirinya sendiri atau orang lain. Impulsivitas yang berlebihan ini seringkali didapati pada pengidap gangguan kepribadian ambang. Pengidap gangguan tersebut umumnya memiliki perasaan takut ditolak, cemas, tidak berarti, takut ditinggalkan, atau marah. Mereka cenderung menyakiti diri sendiri maupun orang lain.
Individu yang menderita gangguan kepribadian ambang cenderung membahayakan diri sendiri dengan beragam usaha bunuh diri. Di Amerika Serikat, hampir 10 persen pasien dengan gangguan ini meninggal karena bunuh diri. Sementara hampir 80 persen yang lain menyakiti diri sendiri (Dialectical Behavior Therapy: Sebuah Harapan bagi Individu dengan Gangguan Kepribadian Ambang, Jurnal Fakultas Psikologi, Universitas Pelita Harapan Surabaya, 2014, hlm 2).
Untuk menghindari kasus-kasus gangguan ambang batas, kembali ke Lisda, orangtua disarankan tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apapun kepada anak di rumah. Anak yang mengalami kekerasan berpotensi tinggi mengalami rasa trauma yang melekat hingga dewasa. Selain mencegah terjadinya kepribadian ambang, menghindari kekerasan kepada buah hati juga berpotensi mencegah dampak jangka panjang kepada anak. (kk)