SAMARINDA – Dua sungai di Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara, diduga tercemar akibat operasi pertambangan batu bara PT Indominco Mandiri. Berdasarkan hasil uji laboratorium, kandungan logam berat ditemukan di Sungai Palakan dan Sungai Santan. Kedua sungai bahkan disebut telah “dibunuh” saking parahnya pencemaran tersebut.
Demikian diungkapkan dalam laporan publik Koalisi #BersihkanIndonesia berjudul “Membunuh Sungai: Bagaimana Pertambangan Batu Bara Indominco Mandiri Meninggalkan Warisan Maut dan Meracuni Air Sungai Palakan-Santan di Kaltim.” Laporan ini dirilis Kamis (3/6/2021), oleh sejumlah organisasi nonpemerintah secara daring.
Koalisi menemukan pencemaran berat setelah Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim mengambil sampel untuk menguji kualitas air Sungai Palakan yang bermuara ke Sungai Santan. Dua dari tiga titik pengambilan sampel adalah badan Sungai Palakan dan muara Sungai Palakan.
Hasil uji laboratorium menunjukkan, keasaman air atau pH sangat asam yakni 2,73 (badan sungai) dan 2,69 (muara sungai). Padahal, kadar netral keasaman adalah 7 dengan nilai baku mutu 6 sampai 9. Keasaman di aliran Sungai Palakan disebut amat tinggi dibanding baku mutu yang diatur Peraturan Daerah Kaltim 2/2011 maupun Peraturan Pemerintah 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Masih menurut laporan koalisi, kandungan logam berat besi (Fe) mencapai tujuh kali lipat dari ambang baku mutu di badan Sungai Palakan dan 16 kali lipat di muaranya. Demikian halnya kandungan logam berat Mangan (Mn) yang mencapai 28 kali lipat di badan sungai dan 29 kali lipat di muara. Konsentrasi tinggi juga ditemukan untuk logam seng (Zn) dan kalsium karbonat CaCO3.
“Dari hasil uji ini, dapat disimpulkan PT Indominco Mandiri diduga telah melanggar kedua peraturan di atas. Sampel air ini diambil dan diperiksa saat PP 82/2001 masih berlaku,” demikian Theresia Jari, peneliti Jatam Kaltim.
Koalisi turut menginvestigasi dokumen perusahaan dan dokumen lingkungan hidup. Dikemukakan, ada 15 settling pond atau kolam penampung limbah tambang batu bara perusahaan. Tiga settling pond di blok barat dan 12 settling pond di blok timur.
Sebanyak enam kolam di blok timur disebut mengalirkan air limbah ke Sungai Palakan lalu bermuara ke Sungai Santan. Tiga settling pond di blok barat mengalir ke Sungai Kare dan dua settling pond mengalir ke Sungai Mayang. Sungai Kare dan Sungai Mayang juga mengalir ke Sungai Santan.
Menurut ringkasan laporan tersebut, PT Indominco Mandiri adalah pemegang kontrak perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) sejak 11 November 1998. Wilayah konsesinya 24.121 hektare di Kukar, Bontang, dan Kutim.
Sebesar 65,14 persen saham perusahaan dikuasai Banpu Mineral. Sisanya 3,53 persen saham, dikuasai perusahaan yang terafiliasi dengan Employees Provident Fund (EPF).
EPF merupakan perusahaan dana pensiun yang mengelola dana milik pekerja, berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia. Sementara itu, 1,16 persen saham dimiliki Dewan Jaminan Sosial (DJS), Ketenagakerjaan Program Jaminan Hari Tua (JHT) yang terhubung dengan BPJS Indonesia.
Koalisi menyebutkan, sampai konsesi berakhir pada 2028, diperkirakan ada 53 lubang tambang dengan luas 2.823,73 hektare. Luas tersebut setara 32 kali luas stadion dan gedung olahraga Palaran di Samarinda.
Taufik Iskandar dari Kelompok Pemuda Santan, Marangkayu, menjelaskan dampak yang diterima warga setempat. Berdasarkan penelusuran kelompok ini, perubahan kualitas dan warna air Sungai Palakan memburuk sekitar enam tahun belakangan.
“Dari kesaksian warga, Arbaim, 65 tahun, warga desa Santan Ulu, kepada kami, warga sangat terganggu karena air sungai keruh, kuning pekat, dan disertai lumpur. Air Sungai Palakan pun tak layak lagi menunjang kebutuhan warga. Ditambah lagi, habitat udang galah dan kerang kepah yang kini punah,” jelas Taufik, masih dalam publikasi tersebut.
Nasib kritis juga dialami Sungai Santan. Menurut laporan warga yang diterima koalisi, limbah dari Sungai Palakan menyebabkan Sungai Santan berwarna hijau tua, kecokelatan, dan berlumpur. Di samping itu, serangan buaya makin tinggi, diduga karena habitat terganggu.
Sejak 1999, sudah 10 warga yang menjadi korban keganasan buaya Sungai Santan.
“Indikasi kerusakan sungai juga nampak pada April 2017. Banjir besar di Desa Santan karena luapan sungai,” jelas Taufik.
Dihubungi pada hari yang sama, External Relation Officer PT Indominco Mandiri, Yulianus, mengatakan bahwa perusahaan memilih tidak menanggapi. Menurut Yulianus, yang disampaikan Jatam Kaltim adalah hak mereka.
Akan tetapi, dia menekankan, PT Indominco dalam melaksanakan kegiatan penambangan di bawah pembinaan dan pengawasan Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) serta Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Keduanya rutin mengawasi. Perusahaan pun rutin menyampaikan laporan kepada kedua lembaga tersebut.
“Kami taat aturan. Jika ingin mencari tahu tentang ketaatan kami, silakan konfirmasi kepada pihak terkait (DLH dan ESDM),” jelasnya, Kamis, 3 Juni 2021 kepada reporter Media Kaltim. (kk)