PENAJAM PASER UTARA – Wacana pembangunan Eco City yang digembar-gemborkan untuk mendukung pengembangan wilayah penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN) mengusung total luas 4.162 hektare, dengan 1.873 hektare di antaranya dialokasikan untuk reforma agraria. Proyek ambisius ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat di sekitar kawasan tersebut.
Project Leader Badan Bank Tanah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Syafran Zamzami, menjelaskan lahan-lahan yang diberikan melalui reforma agraria akan terintegrasi dengan kawasan eco city. Sehingga, memberi kesempatan bagi warga untuk mengakses berbagai fasilitas publik yang akan dibangun, seperti bandara, jalan tol, dan area-area pengembangan lainnya oleh Bank Tanah.
“Termasuk bandara, termasuk jalan tol, termasuk dengan area-area yang akan dikembangkan oleh Bank Tanah. Jadi, dalam 4.162 hektare itu di dalamnya ada lahan reforma agraria sebesar 1.873 hektare,” ungkapnya.
Dijelaskan, sesuai dengan PP Nomor 64 Tahun 2021, pihaknya menyiapkan minimal 30 persen dari total lahan untuk reforma agraria. Dengan 1.873 hektare, alokasi reforma agraria ini telah melebihi kewajiban tersebut, mencapai sekitar 45,2 persen dari total lahan yang direncanakan untuk relokasi warga.
“Kalau dipersentase itu sekitar 45,2 persen untuk warga yang direlokasi. Memang ini kami sadari bahwa ada hal-hal yang perlu kami percepat. Namun, kami tidak bisa berjalan sendiri karena terkait dengan keterbatasan kewenangan,” jelasnya.
Syafran juga menegaskan kembali kepada prinsip awal, semua masukan dari masyarakat akan ditampung demi kebaikan bersama. Sebagaimana saat pertama kali kebijakan pembangunan Bandara VVIP ditentukan wilayahnya, pihaknya mengusahakan untuk pergantian tanam tumbuhnya.
“Kita bersama-sama dengan PUPR, dengan Kementerian Perhubungan menyiapkan dan Alhamdulillah sudah keluar lah kemarin PDSK bentuknya ya kebijakan PDSK. Sehingga masyarakat tidak hanya diambil tanahnya tapi diberikan mengganti tanam tumbuhnya,” tambahnya.
Menanggapi keluhan warga yang mendapatkan penggantian tanah di daerah Bakau, Syafran menyatakan pihaknya akan segera berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk meninjau lokasi tersebut. Meski begitu, ia menekankan baik lahan darat maupun air yang disediakan untuk penggantian harus dimanfaatkan secara produktif, misalnya untuk perkebunan, tambak, atau usaha lain yang dapat mendukung ekonomi masyarakat.
“Karena juga kita harus cek juga pengusahaan masyarakat di awal apakah juga mereka menguasai bakau, kemudian diberikan juga di area yang sama. Tapi prinsipnya daerah-daerah yang kita siapkan itu baik darat maupun air, darat misalnya cocok untuk perkebunan, kalau air kan bisa juga dimanfaatkan untuk produktivitas yang lain tambak, kemudian usaha-usaha lain,” paparnya.
Terkait dengan tuntutan warga yang menolak pengurangan luasan lahan sebesar 30 persen, Syafran menegaskan keputusan tersebut bukan kewenangan Bank Tanah, melainkan kesepakatan yang telah dicapai bersama tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dan ATR/BPN. Pengurangan ini bertujuan untuk efisiensi penguasaan tanah dan untuk memastikan tersedianya fasilitas dasar seperti jalan dan infrastruktur lainnya.
“Sebenarnya 30 persen itu bukan kewenangan Bank Tanah untuk menentukan. Pada saat itu adalah kesepakatan bersama dengan Keputusan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dengan BPN, bahwa untuk mengefisiensi penguasaan masyarakat ini, kita akan menyediakan jalan, Kemudian kita menyediakan nanti fasilitas standar jalannya,” jelasnya.
Lebih lanjut Syafran menambahkan, meskipun ada pengurangan tersebut, total lahan reforma agraria yang akan dibagikan tetap berjumlah 1.873 hektare, sesuai hasil verifikasi yang sudah final.
“Lahan 1.873 hektare ini cukup nggak untuk mengakomodir seluruh klaim dari masyarakat itu aja. Karena kewenangan untuk menetapkan subjek, menetapkan objek itu bukan di Bank Tanah. Kalau tadi lihat kan ada tuntutan dari masyarakat untuk tidak 30 persen ini kita akan sampaikan. Jadi akan membahas bersama,” tutupnya.
Penulis: Nelly Agustina
Editor: Nicha R